2.1
Gomorfologi Regional
Satuan
perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo. Perbukitan ini
mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264 m.
Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m) di
Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo
bagian timur. Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng.
Perbukitan Jiwo tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk,
1992).
Perbukitan
Jiwo, Bayat merupakan in layer dari batuan Pra-tersier dan Tersier di sekitar
endapan Kuarter, terutama terdiri dari endapan fluvio-volkanik dari Gunung
Merapi. Ketinggian rata-rata dari perbukitan ini adalah 400 meter di atas muka
laut, sehingga tergolong perbukitan rendah. Perbukitan Jiwo dibagi menjadi dua,
yaitu bagian barat dan bagian timur. Perbukitan Jiwo Barat memanjang dengan
arah utara – selatan, puncak-puncaknya adalah Jabalkat, Kebo, Merak, Cakaran,
Budo, Sari, dan Tugu, di bagian paling utara membelok ke barat yaitu Perbukitan
Kampak. Perbukitan Jiwo Timur memanjang dengan arah barat – timur,
puncak-puncaknya adalah Konang, Pendul, Temas, dengan percabangan ke utara
berupa puncak Jokotuo dan Bawak.
Perbukitan
Jiwo Barat dan Timur dipisahkan oleh Sungai Dengkeng yang memotong daerah
perbukitan secara anteseden. Sungai Dengkeng ini mengeringkan rawa menjadi
dataran rendah akibat air dari Gunung Merapi tertahan oleh Pegunungan Selatan.
Genangan air ini mengendapkan di sebelah utara berupa pasir dari lahar, di
sebelah selatan berupa lempung hitam.
2.2
Struktur Geologi Regional
Sebelum
kala Eosen Tengah, daerah Jiwo mulai mengalami proses erosi yang disebabkan
oleh pengangkatan atau penurunan muka air laut selama Oligosen Akhir. Setelah
proses erosi, kemudian terjadi proses transgresi yang menghasilkan endapan
batugamping.
Struktur
yang berkembang di daerah Bayat adalah lipatan, sesar naik, sesar turun, dan
sesar mendatar. Struktur-struktur tersebut diperkirakan berkembang akibat
adanya gaya kompresi dengan arah utara – selatan yang berlangsung dalam dua
periode, yaitu pada awal kala Miosen Tengah sebelum Formasi Oyo terendapkan dan
pada kala Pliosen setelah Formasi Oyo terendapkan.
Selama
zaman Kuarter, pengendapan batugamping berakhir. Pengangkatan diikuti proses
erosi yang menyebabkan daerah Jiwo menjadi lingkungan darat.
2.3
Stratigrafi Regional
Pegunungan
Selatan bagian barat secara umum tersusun oleh batuan sedimen volkaniklastik
dan batuan karbonat. Batuan volkanoklastiknya sebagian besar terbentuk oleh
pengendapan gaya berat (gravity depositional processes) yang menghasilkan
endapan kurang lebih setebal 4000 m. Hampir seluruh batuan sedimen tersebut
mempunyai kemiringan ke selatan. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan
bagian barat dari tua ke muda adalah :
Formasi
Kebo - butak
Formasi
Semilir
Formasi
Nglanggran
Formasi
Sambipitu
Formasi
Wonosari
Endapan
Kuarter
1.
Formasi Kebo - Butak
Formasi
ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir dan batulempung yang
menunjukkan kenampakkan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya berat
yang lain. Di bagian bawah yang oleh Bothe disebut sebagai Kebo beds, tersusun
atas perselang – selingan antara batupasir, batulanau dan batulempung yang khas
menunjukkan struktur turbidit, dengan perselingan batupasir konglomeratan yang
mengandung klastika lempung. Di bagian bawah ini diterobos oleh sill batuan
beku.
Di
bagian atas dari formasi ini disebut sebagai anggota Butak, tersusun oleh
perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung atau lanau,
ketebalan dari formasi ini kurang lebih 800 m. urutan batuan yang membentuk
Kebo Butak ini ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower submarine fan dengan
beberapa interupsi pengendapan tipe mid fan (Raharjo, 1983), yang terbentuk
pada akhir Oligosen (N2-N3) (Sumarso & Ismoyowati, van Gorsel et al.,1987).
2.
Formasi Semilir
Secara
umum batu ini tersusun atas batupasir dan batulanau yang bersifat ringan,
tufan, kadang – kadang dijumpai selaan breksi vulkanik. Fragmen yang membentuk
breksi maupun batupasir pada umumnya berupa fragmen batuapung yang bersifat
asam. Di lapangan pada umumnya menunjukkan perlapisan yang baik, struktur –
struktur yang mencerminkan turbidit banyak dijumpai. Langkanya kandungan fosil
pada formasi ini menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung secara cepat atau
pengendapan tersebut terjadi pada lingkungan yang sangat dalam, berada di bawah
ambang kompensasi karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami
korosi sebelum dapat mencapai dasar pengendapan. Umur dari formasi ini diduga
adalah awal dari Meiosen berdasar atas terdapatnya Globigerinoides primordius
pada bagian yang bersifat lempungan dari formasi ini di dekat Piyungan (van
Gorsel, Formasi Kebo – Butak. Tersingkap secara baik di wilayah tipenya yaitu
di tebing gawir Baturagung di bawah puncak Semilir.
3.
Formasi Nglanggran
Berbeda
dari formasi yang sebelumnya, Formasi Nglanggran ini tercirikan oleh penyusun
utama berupa breksi dengan penyusun material vulkanik, tidak menunjukkan
perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar. Bagian yang terkasar
dari breksinya hamper seluruhnya tersusun oleh bongkah – bongkah lava andesit
dan juga bom andesit. Di antara massa breksi tersebut ditemukan sisipan lava
yang sebagian besar telah mengalami breksiasi.
Formasi
ini ditafsirkan sebagai hasil pengendapan aliran rombakan yang berasal dari
gunung api bawah laut, dalam lingkungan laut dan proses pengendapan berjalan
cepat, yaitu hanya selama awal Miosen.
Singkapan
utama dari Formasi ini ada di Gunung Nglanggran pada perbukitan Baturagung.
Kontaknya dengan Formasi Semilir di bawahnya berupa kontak tajam. Hal ini
berakibat bahwa Formasi Nglanggran sering di anggap tidak selaras di atas
Semilir, namun harus diperhatikan bahwa kontak tajam tersebut dapat terjadi
akibat berubahnya mekanisme pengendapan dari energy rendah atau sedang menjadi
energy kuat, tanpa harus melewati kurun waktu geologi yang lama, hal yang sangat
biasa dalam proses pengendapan akibat gaya berat. Van Gorse (1987) menganggap
bahwa pengendapan Nglanggran ini dapat diibaratkan sebagai proses runtuhnya
gunung api semacam Krakatau yang ada di lingkungan laut.
Ke
arah atas yaitu ke arah Formasi Sambipitu, Formasi Nglanggran, berubah secara
bergradasi, seperti yang terlihat di singkapan di Sungai Putat. Lokasi yang
diamati untuk EGR tahun 2002 berada pada sisi lain sungai Putat, di mana kontak
kedua formasi ini ditunjukkan oleh kontak struktural.
4.
Formasi Sambipitu
Di
atas Formasi Nglanggran kembali terdapat formasi batuan yang menunjukkan
ciri-ciri terbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun terutama oleh
batu pasir yang bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah,
batupasirnya masih menunjukkan sifat vulkanik sedang ke arah atas sifat
vulkanik ini berubah menjadi batupasir yang bersifat gampingan. Pada batupasir
gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral dan foraminifera besar yang
berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang terseret masuk ke dalam
lingkungan yang lebih dalam akibat pengaruh arus turbid.
Ke
arah atas, Formasi Sambipitu berubah secara gradasional menjadi Formasi
Wonosari (Anggota Oyo) seperti yang terlihat pada singkapan di sungai Widoro
dekat Bundel. Formasi Sambipitu terbentuk selama jaman Meiosen.
5.
Formasi Wonosari
Selaras
di atas Formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo / Wonosari. Formasi ini terdiri
terutama dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hamper setengah
bagian selatan dari pegunungan Selatan memanjang ke arah timur, membelok ke
arah utara di sebelah timur perbukitan panggung hingga mencapai bagian barat
dari daerah depresi Wonogiri / Baturetno.
Bagian
terbawah dari Formasi Oyo / Wonosari terutama terdiri dari batugamping berlapis
yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang diendapkan pada kondisi laut
yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan pada daerah dekat muara
sungai Widoro masuk ke sungai Oyo di Bunder. Di lapangan batugamping ini
terlihat sebagai batugamping berlapis, menunjukkan gradasi butir dan pada
bagian yang halus banyak dijumpai fosil jejak tipe burrow yang terdeapat pada
bidang permukaan perlapisan ataupun memotong sejajar dengan pelapisan.
Batugamping kelompok ini disebut sebagai Anggota Oyo dari Formasi Wonosari
(BOTHE, 1929) atau Formasi Oyo (Rahardjo dkk, 1977 dalam Toha dkk, 1994).
Ke
arah lebih muda, anggota Oyo ini bergradasi menjadi dua spesies yang berbeda.
Di daerah Wonosari, batugamping ini makin kearah selatan semakin berubah
menjadi batugamping terumbu yang berupa rudstone, framestone, dan floatstone,
bersifat lebih keras dan dinamakan sebagai anggota Wonosari dari Formasi Oyo /
Wonosari (BOTHE, 1929) atau Formasi Wonosari (Rahardjo dkk, 1977 dalam TOHA
dkk). Sedangkan di barat daya kota Wonosari, batugamping terumbu ini berubah
fasies menjadi batugamping berlapis yang bergradasi menjadi napal, dan disebuit
sebagai anggota KEPEK dari Formasi Wonosari. Anggota KEPEK ini juga tersingkap
pada bagian timur, yaitu di daerah depresi Wonogiri / Baturetno, di bawah
endapan kuarter seperti yang terdapat di daerah Eromoko. Secara keseluruhan,
Formasi Wonosari Ini terbentuk selama Meiosen akhir.
6.
Endapan kuarter
Di
atas seri batuan sediment Tersier seperti tersebut di depan terdapat suatu kelompok sediment yang sudah
agak mengeras hingga masih lepas. Karena kelompok sedimen ini berada di atas
bidang erosi, serta proses pembentukannya masih berlanjut hingga saat ini, maka
secara keseluruhan sedimen ini disebut
sebagai Endapan Kuarter. Penyebarannya meluas mulai dari daerah timur
laut Wonosari hingga daerah depresi Wonogiri – Baturetno. Singkapan yang baik
dari endapan kuarter ini terdapat di
daerah Eromoko sekitar waduk Gajah Mungkur, namun pada EGR ini tidak dilewati.
Secara
stratigrafis endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri terletak tidak selaras
di atas sedimen Tersier yang berupa batu gamping berlapis dari Formasi Wonosari
atau breksi polimik dari formasi Nglanggran. Ketebalan tersingkap dari endapan
Kuarter tersebut berkisar dari 10 meter hingga 14 meter. Umur endapan Kuarter
tersebut diperkirakan Plistosen Bawah.
Stratigrafi
endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri secara vertical tersusun dari
perulangan antara tuff halus putih kekuningan dengan perulangan gradasi batu
pasir kasar ke batu pasir sedang dengan lensa-lensa konglomerat. Batu pasir
tersebut berstruktur silang-siur tipe palung, sedangkan lapisan tuf terdapat di
bagian bawah, tengah dan atas. Pada saat lapisan tuff terbentuk, terjadi juga
aktifitas sungai yang menghasilkan konglomerat.
Lensa
konglomerat yang terdapat pada lapisan tuff mengandung fragmen andesit, diorite
dan batulempung yang berukuran 5 – 8 cm, sering menunjukkan adanya struktur
imbrikasi fragmen. Sumber material dari lensa konglomerat tersebut diduga
berasal dari hasil erosi batuan yang lebih tua dikarenakan aktivitas sungai.
Referensi:
Bemmelem, V. 1949. The Geology of Indonesia Vol-IA General Geologi of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Government Printing Office, The Hague
Referensi:
Bemmelem, V. 1949. The Geology of Indonesia Vol-IA General Geologi of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Government Printing Office, The Hague
Download File: RW
Van Bemmelen Geology of Indonesia Vol-IA General
No comments:
Post a Comment