E-Book Geologi :
Judul Buku : Igneous and Metamorphic Petrology Second Edition
Penulis : Myron G. Best
Tahun Terbit : 2003
Penerbit : Blackwell Science, Ltd.
Download
Inspirasi
"Kadang tidak selalu setiap tindakan membuahkan kesuksesan, tapi perlu diingat bahwa tidak ada kesuksesan tanpa tindakan"
Friday, November 16, 2012
Thursday, November 15, 2012
Dictionary of Geology & Mineralogy
E-Book Geologi :
Judul Buku : Dictionary of Geology & Mineralogy, Second Edition
Penulis : Mark D. Licker
Tahun Terbit : 2003
Penerbit : McGraw-Hill Companies, Inc.
Download
Judul Buku : Dictionary of Geology & Mineralogy, Second Edition
Penulis : Mark D. Licker
Tahun Terbit : 2003
Penerbit : McGraw-Hill Companies, Inc.
Download
Wednesday, November 14, 2012
Perkembangan Tektonik Tersier Indonesia Bagian Barat dan Pulau Sumatra
Perkembangan
tektonik selama tersier dari Indonesia Bagian Barat merupakan pencerminan
daripada interaksi antara lempeng Samudera Hindia-Australia yang bergerak ke
utara, dengan lempeng Asia (Lempeng Mikro Sunda). Selama Jaman Tersier, gerak
daripada lempeng-lempeng tersebut telah mengalami perubahan baik arah maupun
kecepatannya. Lempeng Mikro Sunda menurut Davies (1984, 1987), selama tersier
telah mengalami gerak rotasi ke arah yang berlawanan dengan gerak jarum jam
sebanyak kurang lebih 420.
Tapponnier,
et al (1982), berdasarkan konsep tektonik “ekstrusi” dari benua asia yang
dikemukakannya, berpendapat bahwa perkembangan tektonik tersier dari wilayah
asia tenggara (termasuk Indonesia Barat), sangat dipengaruhi oleh gerak-gerak
“Fragmen Benua Asia” (Cina Timur dan Indo China) yang melejit ke timur dan
tenggara sebagai akibat daripada tumbukan antara gerak benua India dan asia.
Tapponnier,
et al (1982):
Intense and widespread seismicity
in central and eastern Asia can be interpreted as adirect consequence of the
collision between India and Asia (Molnar and Tapponnier, 1975). A large a part
of the active deformation of the asian continent can be accounted for by giant
strike slip faults which “guide” the “instantaneous” tectonics and allow the
extrusion of the asian crust and lithosphere sideways mostly to the east, in
front of impinging India (Tapponnier and Molnar, 1977, 1979). The basic concept
is that of a “rigid” india which indents a “plastic” body (asia).
Pada
dasarnya, tektonik tersier dari Asia timur adalah pencerminan daripada
terjadinya ekstrusi secara periodik dari fragmen benua. Pada tahap tumbukan
yang pertama selama 20-30 juta tahun, dimana india yang bergerak ke utara mendesak
asia, akan menyebabkan melejitnya fragmen benua asia (ekstrusi) sebesar
800-1000 Km ke arah tenggara dan
disertai oleh rotasi 250 se arah jarum jam dari Indochina dan
Paparan Sunda. Gerak sesar mendatar mengiri yang besar (Red river fault) juga
diperkirakan timbul sebgai akibat dari gerak ekstrusi itu dan akan menyebabkan
terbukanya laut cina selatan. Data yang didapat oleh Taylor dan Hays, 1980;
Halloway, 1981 dari laut Cina Selatan, ternyata mendukung dugaan tersebut
(Tapponnier, 1982).
Kapan terjadinya
regangan tersier yang menyebabkan terbukanya laut itu, tidak diketahui secara
pasti. Tetapi anomali magnetik menunjukkan sekitar waktu 32-17 juta tahun lalu.
Membuknya laut cina selatan berhenti pada jaman Miosen bawah. Tapponnier
beranggapan bahwa terhentinya pekmekaran laut cina selatan itu ada hubungannya
dengan bergesernya mekanisme “ekstrusi” tahap kedua dari benua asia dimulai,
dan ini berlangsung antara 10-20 juta tahun yang lalu dengan bergeraknya Tibet
dan Cina Selatan Ke arah timur Hingga beberapa ratus kilometer.
Cekungan-cekungan
Mergui dan Andaman di selatan juga dapat dikaitkan dengan gejala tumbukan dan
ekstrusi tersebut diatas. Regangan disini mungkin sudah dimulai sejak Oligosen
di Selatan, sedangkan lantai lautan miosen dapat direkam dengan baik di laut
andaman (Cuuray, et al, 1978). Agak berbeda dengan yang diamati di Laut Cina
Selatan, di Andaman regangan aktif disertai dengan gerak melalui sesar mendatar
hingga sekarang masih berlangsung.
Konsep
Tektonik Ekstrusi ini bukannya tidak mengalami masalah dalam penerapannya di
Kawasan Asia Tenggara Ini (Khususnya Indocina
dan Indonesia Barat). Dengan gerak-gerak fragmen benua asia ke tenggara
dan timur, maka mekanisme ini akan diimbangi oleh gerak rotasi dari indocina
dan paparan sunda searah dengan putaran jarum jam melalui sesar mendatar utama
sinistral Red River. Pengamatan di lapangan terhadap sesar tersebut, justru
menunjukknya gerak sebaliknya, yaitu dekstral. Hal ini hanya dapat diterangkan
apabila Indocina dan Paparan Sunda telah mengalami rotasi ke arah yang
berlawanan dengan gerak jarum jam. Tapponnier menduga bahwa terhambatnya gerak
rotasi ke arah jarum jam itu ada hubungannya dengan menyentuhnya Benua
Australia dengan Indonesia dalam Interaksi Lempeng Samudera India Australia denganLempeng
Asia.
Davies
(1984), berpendapat bahwa lempeng Mikrosunda memulai dengan rotasinya ke arah
berlawanan dengan jarum jam pada Oligosen Akhir sebagai akibat dari regangan
dan pemekaran kerak yang terjadi di cekungan-cekungan Thai dan Malaya. Gerak
Rotasi dari lempeng mikro itu dipengaruhi oelh resultante gerak sesar mendatar
Ranong dan Jalur sesar Marui di semenanjung Malaya. Sedangkan gerak rotasi yang
kedua, juga dengan arah yang sama dengan yang pertama, dimulai lagi pada jaman
Miosen Tengah, dan masih terus berlanjut hingga sekarang.
Davies
(1987):
Counter clockwise rotation of sunda
Microplate began during the late oligocene as a result os crustal attenuation
ang rifting in the thai and malay basins lying to the east. Movement of the
microplate was effected by resultant right lateral strike slip movement along
the ranong and Klong Marui fracture zones in the malay peninsula.
A second phase of counter clockwise
rotationof the Sunda microplate, comencing in the late Middle Miocene and
continuing to the present day, was caused by the emplacement of oceanic crust
in the andaman Sea.
Pada
interaksi antara lempeng Samudera Hindia-Australia dengan lempeng Sunda setela
gerak rotasi yang kedua pada jaman akhir miosen Tengah, maka kedudukan daripada lempeng Mikro Sunda
terhadap lempeng Hindia-Australia sudah tidak merupakan sudut lancip lagi,
sehingga keadaan yang demikian itu akan menimbulkan gaya kompresi regional
serta terbentuknya jalur subduksi sepanjang tepi barat pulau Sumatra.
Pulau Sumatra
Pulau
sumatra terletak pada bagian tepi selatan dari lempeng Benua Eurasia, yang
berinteraksi dengan lempeng Sunda setelah gerak rotasi yang kedua pada jaman akhir miosen tengah, maka
kedudukan dari lempeng Miro Sunda terhadap lempeng India-Australia yang bergerak
ke arah utara timur laut.
Di utara
pertemuan antara kedua lempeng tersebut diatas ditandai oleh daerah tumbukan
antara India dengan Asia sepanjang pegunungan Himalaya. Ke arah Selatan gerak
antara bagian Kerak Samudera dari lempeng Hindia-Austaralia dengan kerak benua
dari lempeng Eurasia ini ditentukan oleh terbentuknya jalur subduksi sepanjang
6500 Km yang membentang mulai dari laut Andaman di Selatan Burma, Ke Palung
Nikobar dan Selanjutnya ke Palung Sunda di sebelah barat pulau sumatra dan
selatan jawa.
Jalur
subduksi yang masih aktif ini, di sebelah barat laut andaman dan sebelah barat
daya sumatra dapat dikenal dari adanya jalur Benioff di bawah pulau Sumatra dan
“Taji akrasi” (Accretionary wedge) yang
membentang dari kepulauan andaman Nikobar di utara ke kepualauan Mentawai di
Selatan.
Telah lama
diketahui bahwa tektonik pulau Sumatra dianggap sebagai produk dari interaksi
Konvergen antara lempeng Hindia-Australia dan Asia, dan pola serta ragam
tektoniknya dipengaruhi oelh besarnya sudut interaksi serta kecepatan dari
konvergensi lempeng. Gerak-gerak tersebut telah menghasilkan bentuk-bentuk
gabungan subduksi dan sesar mendatar dextral yang mantap tetapi bervariasi.
Geologi Tersier dan Kuarter dari pulau Sumatra yang dikenal sekarang merupakan
pencerminan yang wajar dari gerak tersebut, meskipun ada aspek-aspek yang tetap
masih belum diketahui.
Sebelum 100
juta tahun yang lalu, malaysia, dan mungkin juga Sumatra, terletak si sebelah
utara garis Khatulistiwa dan jauh lagi dari bagian tepi utara Gondwana.
Davies
(1987)
The Inter-Relationship between the
present boundaries and the convergence angle between the approaching plates
adequately illustrates the complex structural pattern which would be generated:
Where the angle of convergence is
highly acute (00 to 450) then strike slip motion
dominates where the angle of convergence is less acute (450 to less
than 900) or perpendicular, then oceanic trench formation results
with the possible subduction of oceanic crust and compression of the overriding
To Be Continued..
Referensi :
Asikin, Sukendar., -, Geologi
Struktur Indonesia, Lab. Geologi Dinamis-Geologi ITB, Bandung.
Tuesday, November 13, 2012
Principles of Sedimentology and Stratigraphy
E-Book Geologi :
Judul Buku : Principles of Sedimentology and Stratigraphy Fourth Edition
Penulis : Sam Boggs, J.R.
Tahun Terbit :2006
Penerbit :Upper Saddle River, New Jersey 07458
Download
Judul Buku : Principles of Sedimentology and Stratigraphy Fourth Edition
Penulis : Sam Boggs, J.R.
Tahun Terbit :2006
Penerbit :Upper Saddle River, New Jersey 07458
Download
Sedimentary Rock In The Field - Tucker
E-Book Geologi:
Judul Buku : Sedimentary Rock In The Field Third Edition
Nama Penulis : Maurice E. Tucker
Tahun Terbit : 2003
Penerbit : John Wiley & Son Ltd.
Download
Judul Buku : Sedimentary Rock In The Field Third Edition
Nama Penulis : Maurice E. Tucker
Tahun Terbit : 2003
Penerbit : John Wiley & Son Ltd.
Download
Sunday, November 11, 2012
Rocks And Minerals
E-Book Geologi:
Judul Buku : Rocks and Mineral, The Definitive Visual Guide
Penulis : Ronald Louis Bonewitz
Diterbitkan : 2005, 2008
Penerbit : Dorling Kindersley Limited
Download
Judul Buku : Rocks and Mineral, The Definitive Visual Guide
Penulis : Ronald Louis Bonewitz
Diterbitkan : 2005, 2008
Penerbit : Dorling Kindersley Limited
Download
Atlas of Common Rock-Forming Minerals in Thin Section
E-Book Geologi :
Judul Buku : Atlas of Common Rock-Forming Minerals in Thin Section
Penulis: Brandon Browne
Tahun Terbit : 2007
Penerbit : California State University, Fullerton
Download
Judul Buku : Atlas of Common Rock-Forming Minerals in Thin Section
Penulis: Brandon Browne
Tahun Terbit : 2007
Penerbit : California State University, Fullerton
Download
Van Bemmelem-The Geology of Indonesia (1949)
E-Book Geologi:
Judul Buku : The Geology of Indonesia Vol. 1A General Geologi of Indonesia and Adjacent Archipelagoes
Penulis : R. W. Van Bemmelem
Diterbitkan: 1949
Penerbit : Government Printing Office, The Hague
Download
Judul Buku : The Geology of Indonesia Vol. 1A General Geologi of Indonesia and Adjacent Archipelagoes
Penulis : R. W. Van Bemmelem
Diterbitkan: 1949
Penerbit : Government Printing Office, The Hague
Download
Friday, November 9, 2012
Mengenal Sangiran "Situs Purba"
GEOLOGI
REGIONAL SANGIRAN
2.1
Struktur Geologi Regional
Secara
struktural, kawasan sangiran merupakan suatu kubah yang mana perlapisan batuan
di bagian tengah berada di atas sebagai puncak , sedangkan sisi-sisi lainnya
memiliki kemiringan ke arah luar. Kubah ini memiliki bentuk memanjang dari arah
utara timur laut menuju selatan barat daya. Kubah ini diperkirakan terbentuk
0,5 juta tahun yang lalu yang dilihat dari formasi batuan termuda yang ikut
terlipat atau termiringkan pada saat
terkena gaya endogen ( Wartono R., 2007). Berbagai pendapat para ahli
bermunculan mengenai asal-usul kubah ini, salah satunya oleh Van Bemmelem pada
tahun 1949 yang mengatakan bahwa kubah ini terbentuk sebagai akibat tenaga
endogen yakni gaya kompresif yang berhubungan dengan proses vulkano-tektonik
sebagai akibat longsornya G. Lawu tua. sementara Van Gorsel pada tahun 1987 berpendapat bahwa
kubah ini terbentuk akibat proses pembentukan gunung api yang baru mulai,
pendapat lain mengenai asal-usul terbentuknya kubah ini seperti akibat adanya
struktur diapir dan adanya struktur lipatan yang disebabkan oleh proses wrencing.
Kawasan
sangiran tersusun oleh batuan yang berumur pleistosen dengan morfologi berupa
daerah berbukit-bukit rendah yang mana dijumpai singkapan endapan laut dangkal,
endapan rawa, endapan sungai, dan endapan vulkanis rombakan seperti endapan
lahar dan endapan tuff. Disamping itu terdapat adanya endapan mud volcano yang mengandung exotic block batuan yang berumur eosen
dan batuan metamorf sebagai basement batuan.
Endapan mud volcano ini terletak
dekat dengan pusat kubah, selatan desa Sangiran yang terbentuk akibat adanya
sesar yang memotong jurus perlapisan, membentuk pola radial dari pusat kubah,
semakin ke arah pusat semakin banyak dijumpai sesar naik dan sesar turun, dan
akibatnya terjadi retakan yang sangat dalam yang memotong perlapisan tua yang
bersifat lapuk, karena tersedia celah, maka batuan tersebut mencuat sebagai mud volcano.
Pada
saat ini sangiran dikenal dengan kubah sangiran (sangiran dome), namun struktur tersebut sudah tidak terlihat akibat
adanya erosi dari sungai di bagian utara dan bagian selatan, yakni sungai
Brangkal dan sungai cemoro yang keduanya memotong kubah secara anteseden dengan
arah aliran dari barat ke timur.
2.2
Stratigrafi Regional
Stratigrafi daerah
sangiran disusun oleh batuan sedimen yang terendapkan oleh bahan rombakan yang
terjadi pada dan setelah terangkatnya perbukitan kendeng, sebelah utara daerah
sangiran. Urutan stratigrafinya yakni bagian terbawah tersusun oleh formasi
kalibeng yang menunjukkan gejala pendangkalan ke atas. Selanjutnya formasi ini
ditumpangi oleh urutan sedimen paralik-non marin, yang terdiri dari formasi
pucangan, kabuh, dan notopuro.
A. Formasi
Kalibeng
Formasi ini tersusun
atas napal dan batulempung gampingan berwarna abu-abu kebiru-biruan di bagian
bawah kemudian diikuti dengan batugamping kalkarenit dan kalsirudit bagian atas
yang tersingkap di daerah pusat kubah, yakni pada daerah depresi di utara desa
sangiran serta sepanjang aliran sungai Puren di sebelah timur dan tenggara desa
Sangiran dengan tebal ± 125 m.
Napal dan batulempung
sangat mudah tererosi karena bersifat liat dan lunak. Pada napal banyak
dijumpai fosil foraminifera bentonik yang berupa Operculina complanata, Ammonia beccari, Elphidium Craticulatum bersama
dengan fosil gigi ikan hiu
(Soedarmadji, 1976). Selain itu juga dijumpai foraminifera planktonik seperti Globoratalia acostaensis, G. tumida
flexuosa, dan Sphaeroidinella dehiscens. ini menunjukkan batuan tersebut
terendapkan pada akhir pliosen di laut dangkal yang berhubungan langsung dengan
laut terbuka.
Batulempung
abu-abunya juga bersifat lunak sehingga sering terjadi gerakan massa di musim
hujan, baik dalam bentuk rayapan, aliran, maupun bongkahan. Pada batuan ini dijumpai fosil gastropoda dan
pelecypoda seperti Turitella bantamensis,
Cominella sangiranensis, Placenfa sp., yang mana menunjukkan pengendapan
pada kondisi laut dangkal di akhir pliosen. Selain itu juga terkandung fosil
yang menunjukkan kondsisi air payau, yakni fosil ostrakoda an pelecypoda jenis Ostrea. Diatas batulempung dijumpai
lapisan kalkarenit dan kalsirudit yang tersusun oleh fragmen fosil (coquina) yang saling bertumpu yang
menunjukkan pengendapan di laut dangkal
dengan energi besar. Adanya fosil Balanus
pada kalsirudit menunjukkan pengendapan terjadi pada daerah pasang surut
(litoral). Disamping itu juga dijumpai lapisan batugamping diatas gamping
balanus yang mengandung fosil Ccarbicula yang menunjukkan kondisi pengendapan air
tawar.
Berdasarkan kandungan
fosil dan litologi tersebut menunjukkan gejala pengkasaran ke atas dan
pendangkalan ke atas dari kondisi laut laut dangkal terbuka, mnejadi kondisi
pasng surut dan berakhir pada kondisi air tawar dan iar payau.
B. Formasi
Pucangan
Formasi
ini terendapkan di atas formasi pucangan yang tersusun oleh breksi vulkanik di
bagian bawah dan lempung hitam di bagian atas. Breksi vulkanik membentuk
deretan bukit kecil yang tahan erosi yang ditempati desa Sangiran itu sendiri
dan menumpang secara tidak selaras di atas formasi kalibeng. Diantara breksi
dijumpai sisipan batupasir konglomeratan dengan fragmen andesit berukuran pasir
hingga kerakal. Di beberapa tempat menunjukkan struktur silang siur tipe palung
yang menunjukkan endapan pasng pada daerah sungai ternyam. Pada batupasir
konglomeratan ini dijumpai fosil vertebrata jenis kuda air dan gajah purba.
Di
atas breksi vulkanik terendapkan batulempung hitam yang mana berdasarkan
kandungan fosilnya dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
·
Bagian bawah hasil pengendapan air laut dan
air payau yang terdiri dari perselingan antara lempung abu-abu kebiruan dengan
sisipan tanah diatome dan lapisan yang mengandung fosil moluska secara
melimpah, ostracoda, dan foraminifera yang menunjukkan kondisi transisi.
·
Bagian atas yang mana dijumpai lapisan tanah
yang menunjukkan struktur laminasi dan mengandung fosil spesies yang hidup di
laut, seperti Chyclothella, Actinocyclus,
Diploneis.
Pergantian asosiasi fauna laut dan air tawar, menunjukkan
pengendapan terjadi di dekat laut, dimana selama pengendapan, terjadi beberapa
kali invasi laut, akibat tektonik atau perubahan muka laut.
Dari urutan litologi yang menyusun formasi pucangan dapat
ditafsirkan bahwa pengendapanya semula merupakan aliran lahar ke cekungan yang
berair payau, yang terbentuk sejak akhir pengendapan formasi kalibeng, dengan
ciri utama berupa fosil Corbicula. Endapan
lahar tersebu mempersempit cekungan air payau tersebut, yang kemudian akibat
sedimentasi yang terus menerus berubah mnejadi cekungan air tawar, berupa danau
atau rawa yang sudah tidak lagi berhubungan dengan laut. Semua proses ini
terjadi pada kala pliosen awal.
C. Formasi
Kabuh
Formasi
ini terendapkan di atas formasi pucangan. Bagian terbawah dari formasi ini
tersusun oleh perlapisan tipis batugamping konglomeratan yang tidak menerus
dengan ketebalan bervariasi antara 0,5-3 meter. Tersusun oleh fragmen membulat
yang terdiri dari kalsedon dan beberapa batuan lain yang telah mengalami
alterasi hidrothermal, bercampur dengan pelecypoda yang cangkangnya menebal dan
membulat karena kalsifikasi dan tersemen dengan kuat. Lapisan ini terendapkan
oleh energi yang tinggi sehingga menghasilkan onggokan yang berbutir kasar
Pada
lapisan batas (grenzbank) ditemukan
fosil mamalia, termasuk juga fragmen fosil hominid, sedangkan diatasnya
terdapat perulangan endpan batupasir konglomeratan di bagian bawah dan berubah
ke arah atas menjadi lapisan batupasir. Batupasir konglomeratannya menunukkan
struktur silang siur paralel dengan skala sedang ketebalan antara 0,3-1,5
meter. Sedangkan batupasir yang ada di sebelah atas menunjukkan silang siur
tipe palung dengan tebal antara 0,3-0,8 meter. Kelompok batu pasir ini
diperkirakan terendapkan pada lingkungan sungai teranyam (Rahardjo, 1981) dalam
situasi lingkungan vegetasi terbuka(semah, 1984). Pada bagian bawah batupasir
dijumpai fosil yang merupakan anggota dari fauna trinil, seperti Binos palaeosundaecus, Bubalus
palaeokerabau, Duboisia santeng. Ke
arah atas dijumpai perwakilan dari fauna kedungbrubus. Kumpulan ini menunjukkan
umur sekitar 0,8 juta tahun.
Beberapa
tuff dijumpai pada batupasir menunjukkan pada saat pengendapan terjadi beberapa
kali letusan gunung api, yang mana pada batupasir ini sebagian besar fosil
hominid ditemukan. Di bagian tengah dari formsi ini dijumpai tektit yang
berukuran kerikil hingga kerakal (13-40 mm).
Salah
satu temuan yang paling penting adalah penemuan fosil manusia purba yang disebut Pithecantropus erectus ( Homo erectus). Tetapt lokasi asal fosil
ini belum sepenuhnya diketahui karena penemuan fosil ini dalam bentuk material
yang lepas-lepas.
D. Formasi
Notopuro
Terendapkan
di atas formasi kabuh yang tersusun oleh material vulkanik brupa batupasir
vulkanik, konglomerat, dan breksi yang mengandung fragmen batuan beku yang
berukuran berangkal hingga bongkah, ini menunjukkan bahwa batuan tesebut
terbentuk sebagai hasil pengendapan lahar. Pada dasar dari formasi ini dijumpai
lapisan yang mengandung fragmen kalsedon dan kuarsa susu.
Pada formasi ini sangat
jarang dijumpai fosil, formasi notopuro ditafsirkan sebagai hasil akibat
aktivitas vulkanik yang kuat dan terjadi di lingkungan darat.
Referensi:
Bemmelem, V. 1949.
The Geology of Indonesia Vol-IA General Geologi of Indonesia and
Adjacent Archipelagoes. Government Printing Office, The Hague
Download File: RW Van Bemmelen Geology of Indonesia
Vol-IA General
Wednesday, November 7, 2012
Geologi Regional Pegunungan Selatan Jawa
2.1
Gomorfologi Regional
Satuan
perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo. Perbukitan ini
mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264 m.
Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m) di
Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo
bagian timur. Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng.
Perbukitan Jiwo tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk,
1992).
Perbukitan
Jiwo, Bayat merupakan in layer dari batuan Pra-tersier dan Tersier di sekitar
endapan Kuarter, terutama terdiri dari endapan fluvio-volkanik dari Gunung
Merapi. Ketinggian rata-rata dari perbukitan ini adalah 400 meter di atas muka
laut, sehingga tergolong perbukitan rendah. Perbukitan Jiwo dibagi menjadi dua,
yaitu bagian barat dan bagian timur. Perbukitan Jiwo Barat memanjang dengan
arah utara – selatan, puncak-puncaknya adalah Jabalkat, Kebo, Merak, Cakaran,
Budo, Sari, dan Tugu, di bagian paling utara membelok ke barat yaitu Perbukitan
Kampak. Perbukitan Jiwo Timur memanjang dengan arah barat – timur,
puncak-puncaknya adalah Konang, Pendul, Temas, dengan percabangan ke utara
berupa puncak Jokotuo dan Bawak.
Perbukitan
Jiwo Barat dan Timur dipisahkan oleh Sungai Dengkeng yang memotong daerah
perbukitan secara anteseden. Sungai Dengkeng ini mengeringkan rawa menjadi
dataran rendah akibat air dari Gunung Merapi tertahan oleh Pegunungan Selatan.
Genangan air ini mengendapkan di sebelah utara berupa pasir dari lahar, di
sebelah selatan berupa lempung hitam.
2.2
Struktur Geologi Regional
Sebelum
kala Eosen Tengah, daerah Jiwo mulai mengalami proses erosi yang disebabkan
oleh pengangkatan atau penurunan muka air laut selama Oligosen Akhir. Setelah
proses erosi, kemudian terjadi proses transgresi yang menghasilkan endapan
batugamping.
Struktur
yang berkembang di daerah Bayat adalah lipatan, sesar naik, sesar turun, dan
sesar mendatar. Struktur-struktur tersebut diperkirakan berkembang akibat
adanya gaya kompresi dengan arah utara – selatan yang berlangsung dalam dua
periode, yaitu pada awal kala Miosen Tengah sebelum Formasi Oyo terendapkan dan
pada kala Pliosen setelah Formasi Oyo terendapkan.
Selama
zaman Kuarter, pengendapan batugamping berakhir. Pengangkatan diikuti proses
erosi yang menyebabkan daerah Jiwo menjadi lingkungan darat.
2.3
Stratigrafi Regional
Pegunungan
Selatan bagian barat secara umum tersusun oleh batuan sedimen volkaniklastik
dan batuan karbonat. Batuan volkanoklastiknya sebagian besar terbentuk oleh
pengendapan gaya berat (gravity depositional processes) yang menghasilkan
endapan kurang lebih setebal 4000 m. Hampir seluruh batuan sedimen tersebut
mempunyai kemiringan ke selatan. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan
bagian barat dari tua ke muda adalah :
Formasi
Kebo - butak
Formasi
Semilir
Formasi
Nglanggran
Formasi
Sambipitu
Formasi
Wonosari
Endapan
Kuarter
1.
Formasi Kebo - Butak
Formasi
ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir dan batulempung yang
menunjukkan kenampakkan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya berat
yang lain. Di bagian bawah yang oleh Bothe disebut sebagai Kebo beds, tersusun
atas perselang – selingan antara batupasir, batulanau dan batulempung yang khas
menunjukkan struktur turbidit, dengan perselingan batupasir konglomeratan yang
mengandung klastika lempung. Di bagian bawah ini diterobos oleh sill batuan
beku.
Di
bagian atas dari formasi ini disebut sebagai anggota Butak, tersusun oleh
perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung atau lanau,
ketebalan dari formasi ini kurang lebih 800 m. urutan batuan yang membentuk
Kebo Butak ini ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower submarine fan dengan
beberapa interupsi pengendapan tipe mid fan (Raharjo, 1983), yang terbentuk
pada akhir Oligosen (N2-N3) (Sumarso & Ismoyowati, van Gorsel et al.,1987).
2.
Formasi Semilir
Secara
umum batu ini tersusun atas batupasir dan batulanau yang bersifat ringan,
tufan, kadang – kadang dijumpai selaan breksi vulkanik. Fragmen yang membentuk
breksi maupun batupasir pada umumnya berupa fragmen batuapung yang bersifat
asam. Di lapangan pada umumnya menunjukkan perlapisan yang baik, struktur –
struktur yang mencerminkan turbidit banyak dijumpai. Langkanya kandungan fosil
pada formasi ini menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung secara cepat atau
pengendapan tersebut terjadi pada lingkungan yang sangat dalam, berada di bawah
ambang kompensasi karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami
korosi sebelum dapat mencapai dasar pengendapan. Umur dari formasi ini diduga
adalah awal dari Meiosen berdasar atas terdapatnya Globigerinoides primordius
pada bagian yang bersifat lempungan dari formasi ini di dekat Piyungan (van
Gorsel, Formasi Kebo – Butak. Tersingkap secara baik di wilayah tipenya yaitu
di tebing gawir Baturagung di bawah puncak Semilir.
3.
Formasi Nglanggran
Berbeda
dari formasi yang sebelumnya, Formasi Nglanggran ini tercirikan oleh penyusun
utama berupa breksi dengan penyusun material vulkanik, tidak menunjukkan
perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar. Bagian yang terkasar
dari breksinya hamper seluruhnya tersusun oleh bongkah – bongkah lava andesit
dan juga bom andesit. Di antara massa breksi tersebut ditemukan sisipan lava
yang sebagian besar telah mengalami breksiasi.
Formasi
ini ditafsirkan sebagai hasil pengendapan aliran rombakan yang berasal dari
gunung api bawah laut, dalam lingkungan laut dan proses pengendapan berjalan
cepat, yaitu hanya selama awal Miosen.
Singkapan
utama dari Formasi ini ada di Gunung Nglanggran pada perbukitan Baturagung.
Kontaknya dengan Formasi Semilir di bawahnya berupa kontak tajam. Hal ini
berakibat bahwa Formasi Nglanggran sering di anggap tidak selaras di atas
Semilir, namun harus diperhatikan bahwa kontak tajam tersebut dapat terjadi
akibat berubahnya mekanisme pengendapan dari energy rendah atau sedang menjadi
energy kuat, tanpa harus melewati kurun waktu geologi yang lama, hal yang sangat
biasa dalam proses pengendapan akibat gaya berat. Van Gorse (1987) menganggap
bahwa pengendapan Nglanggran ini dapat diibaratkan sebagai proses runtuhnya
gunung api semacam Krakatau yang ada di lingkungan laut.
Ke
arah atas yaitu ke arah Formasi Sambipitu, Formasi Nglanggran, berubah secara
bergradasi, seperti yang terlihat di singkapan di Sungai Putat. Lokasi yang
diamati untuk EGR tahun 2002 berada pada sisi lain sungai Putat, di mana kontak
kedua formasi ini ditunjukkan oleh kontak struktural.
4.
Formasi Sambipitu
Di
atas Formasi Nglanggran kembali terdapat formasi batuan yang menunjukkan
ciri-ciri terbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun terutama oleh
batu pasir yang bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah,
batupasirnya masih menunjukkan sifat vulkanik sedang ke arah atas sifat
vulkanik ini berubah menjadi batupasir yang bersifat gampingan. Pada batupasir
gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral dan foraminifera besar yang
berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang terseret masuk ke dalam
lingkungan yang lebih dalam akibat pengaruh arus turbid.
Ke
arah atas, Formasi Sambipitu berubah secara gradasional menjadi Formasi
Wonosari (Anggota Oyo) seperti yang terlihat pada singkapan di sungai Widoro
dekat Bundel. Formasi Sambipitu terbentuk selama jaman Meiosen.
5.
Formasi Wonosari
Selaras
di atas Formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo / Wonosari. Formasi ini terdiri
terutama dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hamper setengah
bagian selatan dari pegunungan Selatan memanjang ke arah timur, membelok ke
arah utara di sebelah timur perbukitan panggung hingga mencapai bagian barat
dari daerah depresi Wonogiri / Baturetno.
Bagian
terbawah dari Formasi Oyo / Wonosari terutama terdiri dari batugamping berlapis
yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang diendapkan pada kondisi laut
yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan pada daerah dekat muara
sungai Widoro masuk ke sungai Oyo di Bunder. Di lapangan batugamping ini
terlihat sebagai batugamping berlapis, menunjukkan gradasi butir dan pada
bagian yang halus banyak dijumpai fosil jejak tipe burrow yang terdeapat pada
bidang permukaan perlapisan ataupun memotong sejajar dengan pelapisan.
Batugamping kelompok ini disebut sebagai Anggota Oyo dari Formasi Wonosari
(BOTHE, 1929) atau Formasi Oyo (Rahardjo dkk, 1977 dalam Toha dkk, 1994).
Ke
arah lebih muda, anggota Oyo ini bergradasi menjadi dua spesies yang berbeda.
Di daerah Wonosari, batugamping ini makin kearah selatan semakin berubah
menjadi batugamping terumbu yang berupa rudstone, framestone, dan floatstone,
bersifat lebih keras dan dinamakan sebagai anggota Wonosari dari Formasi Oyo /
Wonosari (BOTHE, 1929) atau Formasi Wonosari (Rahardjo dkk, 1977 dalam TOHA
dkk). Sedangkan di barat daya kota Wonosari, batugamping terumbu ini berubah
fasies menjadi batugamping berlapis yang bergradasi menjadi napal, dan disebuit
sebagai anggota KEPEK dari Formasi Wonosari. Anggota KEPEK ini juga tersingkap
pada bagian timur, yaitu di daerah depresi Wonogiri / Baturetno, di bawah
endapan kuarter seperti yang terdapat di daerah Eromoko. Secara keseluruhan,
Formasi Wonosari Ini terbentuk selama Meiosen akhir.
6.
Endapan kuarter
Di
atas seri batuan sediment Tersier seperti tersebut di depan terdapat suatu kelompok sediment yang sudah
agak mengeras hingga masih lepas. Karena kelompok sedimen ini berada di atas
bidang erosi, serta proses pembentukannya masih berlanjut hingga saat ini, maka
secara keseluruhan sedimen ini disebut
sebagai Endapan Kuarter. Penyebarannya meluas mulai dari daerah timur
laut Wonosari hingga daerah depresi Wonogiri – Baturetno. Singkapan yang baik
dari endapan kuarter ini terdapat di
daerah Eromoko sekitar waduk Gajah Mungkur, namun pada EGR ini tidak dilewati.
Secara
stratigrafis endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri terletak tidak selaras
di atas sedimen Tersier yang berupa batu gamping berlapis dari Formasi Wonosari
atau breksi polimik dari formasi Nglanggran. Ketebalan tersingkap dari endapan
Kuarter tersebut berkisar dari 10 meter hingga 14 meter. Umur endapan Kuarter
tersebut diperkirakan Plistosen Bawah.
Stratigrafi
endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri secara vertical tersusun dari
perulangan antara tuff halus putih kekuningan dengan perulangan gradasi batu
pasir kasar ke batu pasir sedang dengan lensa-lensa konglomerat. Batu pasir
tersebut berstruktur silang-siur tipe palung, sedangkan lapisan tuf terdapat di
bagian bawah, tengah dan atas. Pada saat lapisan tuff terbentuk, terjadi juga
aktifitas sungai yang menghasilkan konglomerat.
Lensa
konglomerat yang terdapat pada lapisan tuff mengandung fragmen andesit, diorite
dan batulempung yang berukuran 5 – 8 cm, sering menunjukkan adanya struktur
imbrikasi fragmen. Sumber material dari lensa konglomerat tersebut diduga
berasal dari hasil erosi batuan yang lebih tua dikarenakan aktivitas sungai.
Referensi:
Bemmelem, V. 1949. The Geology of Indonesia Vol-IA General Geologi of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Government Printing Office, The Hague
Referensi:
Bemmelem, V. 1949. The Geology of Indonesia Vol-IA General Geologi of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Government Printing Office, The Hague
Download File: RW
Van Bemmelen Geology of Indonesia Vol-IA General
Download E-Book Geologi
RW Van Bemmelen Geology of Indonesia Vol-IA General
Manual of Planktonic Foraminifera, Postuma 1971 (OCR)
303B Rock Forming Mineral Atlas
Sedimentary Rocks in The Field-Maurice E. Tucker
Simmons_White & John 2005
Rocks And Minerals
Principles of Sedimentology and Stratigraphy - Sam Boggs, J.R.
Dictionary of Geology & Mineralogy
Subscribe to:
Posts (Atom)